Pesona Garut

Panorama Tebing yang Jadi Tempat Wisata dan Miliki Cerita Mistis

Panorama Tebing yang Jadi Tempat Wisata dan Miliki Cerita Mistis

HAYUKAGARUT.COM – Batu besar yang terletak di tebing sekitar Kampung Genteng, Desa Tanjungjaya, Kecamatan Banjarwangi, Kabupaten Garut, masyhur dengan julukan Batu Tumpang. Batu besar yang terlihat “menumpang” di atas tebing menjadi ikon tempat singgah para pengemudi baik yang hendak menuju kota maupun yang hendak menuju pakidulan (Selatan).

Hamparan hijau perkebunan teh, kebun sayuran, hembusan kabut, dan udara yang sejuk menjadi “magnet” tidak hanya bagi pengemudi yang berkunjung tetapi juga masyarakat sekitar terutama muda mudi untuk sekedar menikmati pemandangan.

Warung-warung dan rumah makan dengan fasilitas toilet dan mushola yang ada di pinggir jalan sekitar kawasan Batu Tumpang menjadi tempat singgah yang aman dan nyaman. Di balik kilau hijau yang sejuk itu Batu Tumpang lahir dari deretan sejarah dan tumbuh dengan faktor budaya sekitar.

“Gegedug Halimun”, begitulah julukan yang lekat dengan kawasan Batu Tumpang sebelum tahun 90-an, sebelum pemerintah membuka kawasan untuk digarap masyarakat, dan sebelum masyarakat datang untuk menyambung hidup dan mendudukinya.

Hamparan hijau tentu masih ada, tetapi tidak hanya perkebunan teh dan sayur, pohon-pohon besar dengan diameter raksasa berbaris gagah menghembuskan hawa sejuk dan dihiasi kabut. Hewan-hewan hutan seperti harimau, dan ular hidup berkeliaran di sekitar kawasan hutan. Sungai Ciudian yang mengalir di bawah kawasan Batu Tumpang jernih mengalir menghidupi tumbuhan dan hewan di sekitarnya. Batu-batu besar membetoni tanah dan kawasan sungai menambah wibawa hamparan itu.

“Sengit, teu meunang digarap, angker, teu beunang disorang ku jelema,” (sengit, tidak boleh digarap, angker, tidak dapat ditaklukan manusia) adalah kalimat Aris, senior keamanan dan ketua RW yang telah malang melintang selama setengah abad membersamai tumbuh kembangnya Batu Tumpang.

Ia menggambarkan kondisi kawasan Batu Tumpang kala itu sebagai hutan cadangan yang sangat ia jaga. Pohon-pohon kayu dan kelesatarian lingkungan seperti sungai adalah hal yang sangat ia perjuangkan. Pertentangan dari masyarakat yang datang untuk menebang bahkan aparat kemanan setempat membersamai perjalanannya sebagai seorang pegawai perkebunan yang cinta lingkungan.

Ia tidak mempermasalahkan kegiatan masyarakat pendatang untuk memanfaatkan kawasan, tetapi eksistensi pohon di hutan harus dipertahankan.

“Keun baé ari ngararebon mah atuh cing mihapékeun kai wé ulah dibaréakeun. Kai téh keur anak incu urang. Keun wé ieu leuweung mah urang jaga wé ku sararéa”. (Silakan saja kalau (mau) berkebun, titip pohon kayu saja jangan dihabiskan. Pohon (kayu) itu untuk anak cucu kita. Biarkan saja hutan ini kita jaga bersama),” tutur Aris.

Cerita Makhluk Halus dan Tabu Batu Tumpang 

Ada beberapa cerita mistis yang pernah dialami pengemudi dan masyarakat setempat. Hal ini disaksikan oleh Asep sebagai bagian dari forum lalu lintas mitra masyarakat dan salah satu sepuh yang tinggal di kawasan Batu Tumpang.

Diantara peristiwa mistis tersebut yaitu penampakan pada foto yang diambil pengunjung, penampakan dan ilusi rumah makan yang dialami pengemudi, dan penampakan makhlus halus yang pernah ia saksikan sendiri. Kini, peristiwa mistis sudah jarang atau bahkan tidak lagi dialami baik oleh pengunjung, pengemudi, maupun dirinya sendiri.

Hal yang sama juga dialami Aris sebagai tokoh sepuh masyarakat yang sudah lama tinggal di kawasan Batu Tumpang. Aris menjadi saksi hidup dari kejadian kalangsu (tersasar) yang dialami pengemudi di jalan sekitar Batu Tumpang. Ia pernah mendengar kabar pengemudi yang melihat acara hiburan di kawasan Batu Tumpang padahal kampung setempat sedang tidak menggelar acara apapun.

Selain kejadian kalangsu, Aris juga menuturkan bahwa terdapat kata yang tabu dan tidak boleh diucapkan orang yang melewati kawasan Batu Tumpang. Kata tersebut adalah halimun atau kabut. Apabila ada yang mengucapkan kata tersebut, maka kawasan sekitar akan gelap berkabut. Dampak dari kata yang tabu diucapkan ini dialami orang zaman dulu atau sebelum ramainya penduduk dan terbentuknya banyak wilayah. Adapun kini, kata tabu itu sudah tidak lagi berdampak namun keberadaan halimun atau kabutnya masih ada.

Tags: -

0 Komentar :

Belum ada komentar.